MEMBENTUK KEPRIBADIAN BERWAWASAN KEBANGSAAN MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
OLEH:
ABDUL
MAJIR
STKIP St. Paulus
Ruteng, Jl end.Ahmad Yani, No. 10. Ruteng –Flores 86508
e-mail: Abdulmajir@gmail.com
Abstrak
Upaya
Membentuk Kepribadian Nasionalis Dan Berwawasan Kebangsaan Melalui Pendidikan
Multikultural, nampaknya harus terus di sosialisaikan, tidak cukup hanya
menghafal teori tetapi harus dipraktekan dalam sikap dan tidakan setiap hari.
Konflik SARA yang akhir-akhir ini yang
menghiasi layar kaca (TV) dan media cetak, seolah-olah menjadi santapan gisi
yang laris. Konflik SARA dan kekerasan lain yang terjadi di Indonesia
disebabkan hilangnya jiwa nasionalis dan jiwa negarawan anak bangsa. Untuk itu
sudah saatnya pendidikan multikutural diintergrasikan pada setiap mata kuliah di kampus.
Pengembangan pendidikan Multikultural terikat pada pelembagaan universalisme
agama-agama, Pancasila, kearifan lokal, dan prinsip dasar Bhineka Tunggal Ika. Nasionalisme
adalah roh yang menggerakkan seluruh sepak terjang semua elemen dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme dan
wawasan kebangsaan tidak cukup dengan seminar/diskusi saja tetapi dipraktek
mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Tulisan ini mencoba
menjelaskan kepribadian yang memiliki sikap nasionalis dan berkebangsaan dengan
prinsip mengelolah keberagaman menjadi damai yang kekal dan menjadi kekuatan
suatu bangsa. Dengan memahami teori dan praktek pendidikan multicultural yang
menerima keberagaman atas dasar kesetaraan, keadilan, penghargaan pada
demokrasi, HAM,perdamaian,kasih
saya dan pantang kekerasan serta toleransi dalam keberagaman bisa dipastikan
akan hilangnya konfik dan kekerasan lain yang ada di negara Indonesia yang
pluralis.Bhineka Tunggal ika bukanlah sekedar pajangan yang dipertotonkan saja,
tetapi sebuah pedoman yang harus dipraktekan dalam hidup keseharian (Krishna,
2016: 77)
Kata Kunci : kepribadian nasionalis, wawasan kebangsaan dan pendidikan multikultural
PENDAHULUAN
Persoalan
bangsa yang akhir-akhir ini mengemuka, bahkan menjadi semacam hantu yang
bergentayangan tidak hanya malam hari tetapi juga siang bolong yang mengarah
pada disintegrasi bangsa. Kemajemukan itu telah membawa akibat yaitu adanya
perjumpaan yang semakin intensif antar kelompok-kelompok manusia. Salah satunya
adalah pergesekan yang seringkali terjadi di intra dan antar agama, suku, ras,
dan golongan. Ketika memfokuskan pada agama, maka sesungguhnya ada fenomena
yang menarik dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia. Fenomena menarik
karena sebagian besar masyarakat Indonesia senantiasa mengkondisikan dirinya
dalam hubungan mayoritas-minoritas, apalagi ketika hal itu dikaitkan dengan
urusan agama. Hal itu sudah terbukti dalam sejarah perjalanan bangsa yang
panjang serta pengalaman-pengalaman kongkrit yang hadir dalam realitas
masyarakat Indonesia. Realitas itu nampak kembali melalui peristiwa-peristiwa
kemanusiaan yang kini tengah dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat
Indonesia. Anarkisme atau kekerasan
cenderung terus meningkat
atau setidaknya timbul
tenggelam dalam beberapa tahun
belakangan ini. Agama Islam sering dijadikan “ Kambing hitam”
Pengaitan-pengaitan peristiwa peledakan bom di tanah air dan dunia dikaitkan
dengan "fundamentalisme Islam". Hal ini memang realita pelakunya
beragama Islam (Adiwarman Azwar Karim: 2002). Tak heran pula jika kemudian
Indonesia menjadi sorotan dunia dalam konteks isu terorisme. Pertanyaanya
adalah: Mengapa kekerasan, anarkir, serta perang suku, golongan, etnis sering
terjadi di Indonesia? Apa sesungguhnya yang menjadi sumberatau akar masalah kekerasan
tersebut? Bagaimana strategi penanganan fenomela kekerasan antara suku,golongan
bahwakan kekerasan antar dan intra agama di Indonesia?
Tulisan
ini tidak bermaksud untuk menjawab segala persoalan bangsa secara komprehensif.
Penulis mencoba untuk turut "merajut benang kusut" Hilangnya faham
nasionalis dan rasa kebangsaan anak bangsa yang telah dipersatukan oleh Bhineka
Tunggal, dengan mengulas problematika keduanya serta menggali sumber dan atau
akar persoalan yang terjadi. Berdasarkan deskripsi ini, penulis juga berupaya
menawarkan alternatif solusi yaitu melalui pendidikan multi kultural. Perkembangan
zaman tidak saja hanya membawa keberuntungan tetapi dapat menyebabkan
kesenjangan. Hal ini bisa menjadi pemicu adanya kekerasan dan anarkisme, sikap
ekstrim, kolot, stagnasi, konservatif, anti-Barat, dan keras dalam
mempertahankan ideologi bahkan dengan kekerasan fisik. ( Chaq, 2013 ). Indonesia
adalah negara yang menjadikan pancasila sebagai ideologi Negara. Pancasila
digali diambil dan digunakan dari masyarakat Indonesia sendiri. Pancasila
sebagai ideologi nasional Bangsa Indonesia pada hakekatnya merefleksikan
dimensi dari sebuah ideologi yang dimiliki oleh suatu negara dan bangsa secara
keseluruhan. Sebagai ideologi yang yang dianut oleh bangsa yang memiliki
keberagaman suku, ras, bahasa maupun agama pancasila haruslah menjadi ideologi
yang pluralis. Pluralisme bukanlah sesuatu yang baru didengar, pluralisme saat
ini menjadi suatu hal yang digadang-gadang sebagai hal yang harus dilakukan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Awal
abad ke 20
adalah masa bangsa Indonesia mulai mengenal kebudayaan Barat, suatu bentuk
kebudayaan baru. Pengenalan ini menyebabkan tumbuhnya kesadaran akan diri
sendiri, kesadaran akan keterbelakangan sebagai bangsa. Hal itulah yang melatar belakangi
lahirnya pergerakan-pergerakan kebangsaan yang bertujuan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Menurut Alisyahbana (1991) tidak ada cara lain untuk
mengatasi keterbelakangan bangsa Indonesia kecuali harus mengubah mental dan
jiwa rakyat melalui pendidikan. Diperlukan suatu transfer of value system dari kebudayaan ekspresif menuju ke
kebudayaan progresif. Melalui pengembangan kebudayaan yang progresif akan
dicapai tingkat pendidikan yang tinggi, penguasaan ilmu dan teknologi sehingga
terwujud pertanian, pertambangan dan industri yang produktif dan efisien yang
membawa kesejahteraan bagi rakyat. Semua itu pada dasarnya juga merupakan
bagian dari realisasi sikap nasionalisme dalam arti yang luas.
PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN
Banyak
para ahli yang memberikan perhatian dan mencurahkan penelitiannya untuk
mendeskripsikan penelitiannya mengenai pola tingkah laku yang nantinya merunut
juga pada pola tingkah laku manusia sebagai bahan perbandingannya. Pola-pola
tingkah laku bagi semua Homo Sapiens
hampir tidak ada, bahkan bagi semua individu yang tergolong satu ras pun, tidak
ada satu sistem pola tingkah laku yang seragam.
Sebabnya tingkah laku Homo Sapiens
tidak hanya ditentukan oleh sistem organik biologinya saja, melainkan juga akal
dan pikirannya serta jiwanya, sehingga variasi pola tingkah laku Homo Sapiens sangat besar diversitasnya
dan unik bagi setiap manusia. Dengan pola tingkah laku dalam arti yang sangat
khusus yang ditentukan oleh nalurinya, dorongan-dorongan dan refleksnya.
Jadi
“Kepribadian” dalam konteks yang lebih mendalam adalah “susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau
tindakan seorang individu”. Ada beberapa unsur-unsur dari kepribadian,
yaitu: 1) Pengetahuan : pengetahuan
merupakan suatu unsur-unsur yang mengisi akal dan alam jiwa orang yang sadar.
Dalam alam sekitar manusia terdapat berbagai hal yang diterimanya melalui panca
inderanya yang masuk kedalam berbagi sel
di bagian-bagian tertentu dari otak dan didalam otak tersebutlah semuanya
diproses menjadi susunan yang dipancarkan oleh individu kealam sekitar. Dalam Antropologi
dikenal sebagai “persepsi” yaitu; “seluruh
proses akal manusia yang sadar”. Unsur-unsur pengetahuan yang secara sadar
dimiliki seorang Individu akan melahirkan, perasaan, dorongan naluri. Dalam
sebuah konsep kepribadian umum, makin dipertajam dengan terciptanya konsep basic personality structure, atau
“kepribadian dasar”, yaitu semua unsur kepribadian yang dimiliki sebagian besar
warga suatu masyarakat. Kepribadian dasar ada karena semua individu warga
masyarakat mengalami pengaruh lingkungan kebudayaan yang sama selama
pertumbuhan mereka. Pembentukan watak
dan jiwa individu banyak dipengaruhi oleh pengalamannya di masa kanak-kanak
serta pola pengasuhan orang tua.
Pembentukan
kepribadian itu ada dua jenis, yaitu
pembentukan primer (dalam keluarga) dan
pembentukan sekunder (sekolah/masyarakat). Menurut Goffman, kedua proses tersebut
berlangsung dalam institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Menurut Charles H. Cooley, peranan interaksi dalam
teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui
interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui
tiga tahapan sebagai berikut:
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata
orang lain.Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang
paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di
berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain
menilai kita. Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak
yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa
orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini
bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu
mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu
memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu
benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan
orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau
sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat
dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat
dari penilaian tersebut. Dengan adanya penilaian bahwa sang anak
adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Uraian Goffman dan Charles H. Cooley di atas berkaitan erat
dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran
sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap
"nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai
"anak nakal" sesuai dengan penilaian orang terhadapnya, walaupun
penilaian itu belum tentu kebenarannya. Setiap
individu dalam masyarakat adalah pribadi yang unik, tetapi karena mereka
memperoleh tipe-tipe sosialisasi yang sangat mirip, baik yang berasal dari
rumah maupun sekolah, akan banyak ciri kepribadian yang hampir serupa.
Seseorang akan mencari pola perilaku atau sikap dan nilai-nilai yang ditekankan
oleh kebudayaannya sebagai hal yang penting untuk mencapai kebiasaan dan
prestasi pribadi.
KEPRIBADIAN BERWAWASAN KEBANGSAAN
Konsep
nasionalisme dan wawasan kebangsaan mengacu pada kesadaran suatu warga negara
akan pentingnya ketunggalan bangsa, nation state. Konsep tersebut bersifat idiologis dan
disosialisasikan kepada setiap anggota (warga) negara. Nasionalisme dan wawasan
kebangsaan mengikat warga negara dalam beberapa hal, yakni (a) memiliki
kesadaran sebagai satu bangsa, yang dapat memperkuat rasa kebangsaan, persatuan
dan kesatuan, (b) jiwa, semangat, dan nilai-nilai patriotik, yaang berkaitan
dengan perasaan cinta tanah air, cinta kepada tanah tumpah darah, cinta kepada
negara dan bangsa, cinta kepada milik budaya bangsa sendiri, kerelaan untuk
membela tanah airnya, (c) jiwa, semangat dan nilai-nilai kreatif dan inovatif,
dan (d) jiwa, semangat, dan nilai-nilai yang mampu membentuk kepribadian, watak
dan budi luhur bangsa (Mustopo, M. Habib. 1983)
Dalam
suasana jiwa pasca-Indonesia pengertian nasionalisme, patriotisme, dan
sebagainya akan lebih jernih dan menjelma sampai ke esensi. Hal itu disebabkan
nasionalisme kini berarti berjuang dalam membela kaum manusia yang terjajah,
miskin dalam segala hal termasuk miskin kemerdekaan dan hak penentuan pendapat
diri sendiri; manusia yang tak berdaya menghadapi para penguasa yang
sewenang-wenang yang telah merebut bumi dan hak pribadinya dan memaksakan
kebudayaan serta seleranya kepada si kalah. Sementara itu dalam tataran
kontekstual, nasionalisme Indonesia merupakan kehendak untuk membangun sebuah
dunia yang di dalamnya manusia Indonesia, sebagai bagian dri budaya
ke-Timur-an, dapat merealisasikan dirinya secara bebas. Di samping itu, manusia
Indonesai bisa terlepas dari tekanan dan dominasi penjajahan Belanda, sebagai
representasi budaya Barat. Tataran kontekstual ini membatasi gagasan pembebasan
hanya pada hubungan antar-bangsa yang dapat membuatnya bertentangan dengan
gagasan pembebasan pada tataran yang lebih rendah.
Dalam
usaha untuk mewujudkan kehendak di atas masyarakat Indonesia tertarik ke dua arah
yang berlawanan, yaitu (1) ada yang bergerak ke masa lalu, dan (2) ada yang
bergerak ke masa depan. Mereka yang bergerak ke masa lalu menganggap dunia itu
sudah ada sebelumnya dan dapat ditemukan kembali. Sementara yang bergerak ke
masa depan mengganggap dunia itu sebagai sebuah bangunan yang akan atau sedang
dalam proses pembentukan. Konsep kebangsaan tidak semata-mata mengacu pada adanya
keragaman kultural. Kebangsaan adalah suatu konsep politik, yang perwujudannya
hanya bisa diraih lewat upaya-upaya politik pula. Dan upaya politik paling
penting adalah menciptakan keadilan sosial, tegasnya keberpihakan pada mereka
yang lemah. Hanya dengan kebangsaan yang
menjamin hak politik warga negara untuk menentukan dirinya sesuai dengan
kulturalnya, maka masing-masing kelompok etnis dan budaya yang tergabung di
dalamnya akan terjamin menghayati identitasnya. Kebangsaan itu sendiri terjadi dan
terbentuk sesuai dengan penjadian dan pembentukan sejarah. Oleh karena sejarah
bersifat terbuka maka pembentukan dan penjadian itu tidak mengenal bentuk akhir
atau finalitas.
Jadi kebangsaan bukanlah suatu kenyataan,
melainkan suatu cita-cita, aspirasi dan tuntutan khas Indonesia. Kebangsaan itu
adalah suatu persatuan Indonesia merdeka yang mengusahakan keadilan sosial,
terutama bagi mereka yang tertindas. Apabila kita merunut sejarah dapat
dideskripsikan cita-cita kebangsaan tersebut. Di awal abad ini berupa cita-cita
Indonesia untuk merdeka. Kemudian, di era 45-60 berupa tekad untuk menjaga
keutuhan negara. Selanjutnya generasi 66 ingin memurnikan pelaksanaan UUD 1945
dan menyejahterakan rakyat melalui pembangunan ekonomi. Begitu seterusnya
cita-cita kebangsaan tersebut harus selalu dirumuskan dan dipahami oleh
masyarakat dan bangsa Indonesia. Setiap individu ynag berada dalam lingkaran
suatu generasi mempunyai kewajiban sejarah utntuk menggali dan merumuskan
cita-cita kebangsaan sebagai upaya menambah ukiran sejarah perjalanan bangsa.
Sebagai
upaya mempermudah pemahaman, dalam tulisan ini gagasan nasionalisme dan
wawasan kebangsaan dikelompokkan dalam tiga kategori. Ketiga kategori tersebut
selanjutnya dijadikan dasar dalam mendeskripsikan hasil telaah. Penetapan
kategori dilakukan berdasarkan hasil pemahaman terhadap nasionalisme yang
dikemukakan oleh Soedjatmoko, Sutan Takdir Alisyhabana, Rahmat Witoelar, dan
Moerdiono. Kategori yang dimaksud yaitu (1) Nasionalisme gelombang pertama:
nasionalisme pra kemerdekaan, (2) Nasionalisme gelombang kedua: nasionalisme
pasca kemerdekaan, dan (3) Nasionalisme
gelombang ketiga: nasionalisme Indonesia baru.
Penetapan
kategorisasi tersebut di atas dengan pemikiran bahwa pada dasarnya nasionalisme
merupakan suatu konsep ideologis yang dinamis. Oleh karena itu ia memiliki
dinamika internal yang memungkinkan untuk berkembang sesuai dengan realitas
sosial kemasyarakatan yang ada. Pembagian ini semata-mata didasarkan pada mata
rantai sejarah kebangsaan di Indonesia. Nasionalisme dan wawasan kebangsaan
secara garis besar dapat dipihak dalam tiga bagian, yaitu zaman sebelum
merdeka, zaman setalah kemerdekaan, dan zaman modern saat ini (Indonesia
baru).
Tabel 1: Wujud Gagasan Nasionalisme dan Wawasan Kebangsaan
No.
|
Kategori
|
Deskripsi
|
1.
|
Nasionalisme Gelombang Pertama :
Nasionalisme Pra-Kemerdekaan
|
a. Nilai Patriotisme
b. Rela berkorban
c. Strategi perjuangan
d. Kebersamaan dalam perjuangan
e. Motivasi dan makna perjuangan
f. Keyakinan dalam perjuangan
g. Nilai kemanusian dalam perjuangan
|
2.
|
Nasionalisme Gelombang Kedua :
Nasionalisme Pasca-Kemerdekaan
|
a. Makna hakiki kemerdekaan
b. Merdeka bagi rakyat kecil
c. Kebebasan
d. Identitas kebangsaan
e. Perilaku kepemimpinan
f. Penegakan kebenaran
g. Menghilangkan penindasan
|
3.
|
Nasionalisme Gelombang Ketiga:
Nasionalisme Indonesia-Baru
|
a. Nasionalisme terbuka
b. Tujuan akhir perjuangan
c. Kecintaan pada kedamaian
d. Sejajar dengan bangsa lain
e. Sikap patriotisme baru
f. Penguasaan IPTEKS
g. Sikap dan semangat kemandirian
|
Pada
tabel 1 di atas, jiwa nasionalis dan kebangsaan tetap terjaga di NKRI perlunya penguasaan ilmu dan
teknologi, melalui
pendidikan. Menurut Alisyahbana (1991) tidak ada cara lain untuk mengatasi
keterbelakangan bangsa Indonesia kecuali harus mengubah mental dan jiwa rakyat
melalui pendidikan. Diperlukan suatu transfer
of value system dari kebudayaan ekspresif menuju ke kebudayaan progresif.
Melalui pengembangan kebudayaan yang progresif akan dicapai tingkat pendidikan
yang tinggi, penguasaan ilmu dan teknologi sehingga terwujud pertanian,
pertambangan dan industri yang produktif dan efisien yang membawa kesejahteraan
bagi rakyat. Semua
itu pada dasarnya juga merupakan bagian dari realisasi sikap nasionalisme dalam
arti yang luas.
Nasionalisme
baru sekarang ini lebih bersifat terbuka dan humanisme. Kenyataan membuktikan
bahwa sebagai bangsa, bangsa Indonesia tidak mungkin hidup sendiri. Bangsa
Indonesia harus menjadi bagian integral dalam pergaulan bangsa-bangsa di dunia. Persoalan yang muncul saat
ini menjadi pelajaran
untuk bangkit, bersatu, bersama, kokoh dan kualitas. Sangat
diperlukan sikap dan semangat kemandirian dalam membangun bangsa dan negara.
Kemandirian bukan berarti harus menutup diri dengan bangsa lain, tetapi
sebaliknya sikap kemandirian yang memungkinkan pengembangan jati diri sebagai
bangsa yang mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain di dunia. Kita tetap harus
menjalin hubungan dengan bangsa lain. Akan tetapi ketika menentukan sikap,
memutuskan pilihan yang menyangkut kepentingan bangsa sendiri haruslah
berdasarkan idialisme kemandirian. Karena kita mau hidup sebagai manusia
sewajarnya -- merdeka dan bebas. Menjadi
tuan diri dan kita kita sendiri. Bukan budak bangsa lain, dan juga bukan musuh sesama bangsa sendiri.
Berbagai
uraian yang telah dikemukakan di atas memberikan gambaran yang mendasar bahwa
nasionalisme merupakan konsep yang luas. Pengertiannya tidak dapat hanya
dibatasi dengan batasan kewilayahan maupun ideologi kelompok. Nasionalisme
adalah roh yang menggerakkan seluruh sepak terjang semua elemen dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Nasionalisme terbentuk
dari interaksi antar elemen di dalam suatu bangsa. Dalam masa
reformasi ini, kekerasan, anarkisme, serta kekerasan SARA disebabkan berbagai
faktor amat kompleks, sebagai berikut:
- berkaitan dengan euforia kebebasan, dimana setiap orang atau kelompok merasa dapat mengekspresikan kebebasan dan kemauannya, tanpa peduli dengan pihak-pihak lain. Dengan demikian terdapat gejala menurunnya toleransi.
- masih berlanjutnya fragmentasi politik dan sosial khususnya di kalangan elit politik, sosial, militer, yang terus mengimbas ke lapisan bawah (grassroot) dan menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas. Terdapat berbagai indikasi, konflik dan kekerasan bernuansa agama bahkan di provokasi kalangan elit tertentu untuk kepentingan mereka sendiri.
- tidak konsistennya penegakan hukum. Beberapa kasus konflik dan kekerasan yang bernuasa agama atau membawa simbolisme agama menunjukkan indikasi konflik di antara aparat keamanan, dan bahkan kontestasi diantara kelompok-kelompok elit lokal.
- meluasnya disorientasi dan dislokasi dalam masyarakat Indonesia, karena kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan-kebutuhan sehari-hari lainnya membuat kalangan masyarakat semakin terhimpit dan terjepit. Akibatnya, orang-orang atau kelompok yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah dan murah dapat melakukan tindakan emosional, dan bahkan dapat disewa untuk melakukan tindakan melanggar hukum dan kekerasan (Majir.A, 2017:6)
Menurut
John Esposito Direktur Gallup untuk studi Islam Dalia Mogahed dalam salah satu
analisisnya mengatakan, "Barat seringkali menuding ajaran agama
yang telah mempengaruhi pandangan radikal dan kekerasan.Tapi data yang ada
mengungkapkan hal yang sebaliknya. Indikasi konspirasi internasional untuk
melemahkan bangsa Indonesia melalui kasus bom Bali. Hal senada juga
dikemukakan Ketua Kadin Bali, I Ketut Gde Wiratna. Menurutnya, kasus bom Bali
tidak ada hubungannya dengan agama. Gde Wiratna menuturkan bahwa di Bali, Hindu
dan Islam sangat dekat, sangat akrab, bahkan berdirinya beragam budaya di Bali
selalu terkait dengan dukungan umat Islam sehingga di Bali begitu banyak
komponen dan komunitas muslim karena diberikan hak oleh raja-raja di Bali.
Terkait dengan masalah terorisme, ada kepentingan untuk melemahkan Indonesia
melalui cara ini.
Berbagai
fakta dan pendapat yang di uraikan di atas, dapat simpulkan bahwa tampaknya,
banyak sekali Negara yang khawatir bila demokratisasi di Indonesia menghadirkan
Indonesia yang kuat. Kekhawatiran Negara lain di dunia sangat beralasan,yaitu kalau
Indonesia kuat, banyak yang merasa kepentingannya akan terganggu karena Negara
majemuk bisa bersatu dan kuat menjadi “singa” .
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Pendidikan
seringkali menjadi sarana paling mujarab untuk melakukan rekayasa sosial atau
bahkan "invasi kultural" untuk tujuan tertentu. Munculnya kekerasan
dan anarkis boleh jadi berpangkal dari produk pendidikan yang salah. Ahmad Ali
Riyadi (2009) menyebutkan bahwa dalam realitas sejarah di Timur Tengah,
munculnya institusi pendidikan seringkali tidak bersih dari kepentingan politik
yang menyokongnya. Di Indonesia pendidikan harus kembali filsafat Negara yaitu Pancasila. Dalam
konteks Indonesia yang plural, sudah seharusnya kita mengintegrasikan
pendidikan mulitikultural pada setiap mata pelajaran dari jenjang sekolah dasar
sampai perguruan tinggi. Sebagai bagian integral dari upaya untuk menanggulangi
kekerasan dan anarkis di tanah air, aktifitas pendidikan semestinya
diorientasikan pada upaya untuk melahirkan kesadaran kritis sehingga mendorong
anggota masyarakat untuk dapat berpikir logis dan analitis, seraya tidak
terjebak pada pola pikir dan perilaku radikal yang membahayakan. Kampanye
sosial-kultural secara massif untuk disintegrasi bangsa, kekerasan dan anarkis
memang harus menjadi pemahaman dan keinsyafan semua pihak (keluarga, sekolah
dan masyarakat).
Pendidikan
multikulturan sama dengan pendidikan karakter adalah suatu sistem penamaan
nilai-nilai karakter yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan baik terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan,
kebangsaan maupun terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karakter harus dibangun dan
dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses. Mengutip
gagasan Lickona dalam (Majir.A, 2017:4) yaitu: karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling) dan perilaku moral (moral behavior). Dengan demikian
pendidikan multikural terikat pada pelembagaan universalisme Agama-agama, Pancasila,
kearifan local dan prinsip dasar multikuturalisme adalah Bhineka Tunggal Ika. Gagasan ini
berimplikasi terhadap pendidikan multicultural di sekolah dengan menggunakan model
filsafat konstruktivisme, yang berciri yaitu: 1) belajar adalah suatu proses
aktif seseorang untuk membangun pengetahuan yang bermakna bagi dirinya melalui
interaksi social dengan lingkungan dengan cara membangun keterkaitan antara
pengetahuan yang dihadapi dengan pengetahuan yang dimiliki, 2) kelas dipandang
suatu kelompok anggota masyarakat ilmiah yang mencari kebenaran melalui
pembelajaran, pertanyaan, diskusi antara sesama didik atau peserta didik dengan
pengajar dan sesama pengajar. Pembelajar bukan lagi pengajar memindahkan
pengetahuan, tetapi mencari pengetahuan (Sutrisno, 2004). Peran guru dalam
pendidikan multicultural mengikuti model pendidikan kritis, yakni sebagai
intelektual yang transformative. Arti transformative di sini adalah guru tidak
hanya mendiskusikan sistim nilai universal yang dilembagakan pada peserta didik
tetapi harus dikaikan secara praktis yang menjunjung tinggi Bhineka Tunggal Ika
secara teoritis dan praktis (Suparno, 1997:48).
Singkat
Kata apa yang diunkapkan sutrisno (2004 dan Suparno (1997:48) di atas, sangat
penting untuk dicermat oleh guru, orangtua dan masyarakat luas. Sebab, jija
idea tau gagasan ini diikuti di
Indonesia, maka harapan terbaik untuk mewujudkan perdamaian, kesejahteraaan,
kerukukunan dan kemakmuran bebassis
Bhineka Tunggal Ika menjadi kenyataan
bukan lagi mimpi.
PENUTUP
Membentuk
kepribadidan yang nasionalis dan berwawasan kebangsan adalah sebuah tuntutan
dan merupakan capaian hasil pendidikan secara nasional. pemerintah berkewajiban memberikan rasa aman kepada
masyarakat untuk membangun kesadaran bahwa anarkis dan kekerasan SARA tidak
cukup dengan hanya mengandalkan pendekatan keamanan (security approach) semata. Pendekatan ini perlu dikomplementasikan
dengan dimensi human security secara
lebih luas.
Karena
anarkis dan kekerasan SARA seringkali bersumber tidak dari aspek yang tunggal,
tapi bersumber dari multi aspek, termasuk ketidakadilan yang di dalamnya
termuat beragam dimensi kemanusiaan secara simultan. Oleh karena itu,
pendekatan human security penting
dipromosikan dalam membangun security
sector reform melalui pengembangan pendidikan multikultural. Keterampilan social dibutuhkan saling
menghargai keberagaman (Ras,
agaman,suku) diikat oleh Bhineka
Tunggal ika dan falsafah hidup adalah Pancasila.Bukan hanya teroritis melainkan
harus dipraktekan oleh semua anak
bangsa.
____________________
BAHAN BACAAN
Darmiyati Zuchdi. (2009). Pendidikan Karakter. Yogyakarta: UNY Press.
Dwi Siswoyo. (2008). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Emile Durkheim.
(1990).
Pendidikan
Moral
Suatu
Studi
Teori dan Aplikasi
Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Erlangga.
Jamal Ma’mur Asmani. (2001). Pendidikan Karakter di sekolah.
Jogjakarta: Diva
Press.
Krisna,
Anand. (2016), Vedania Memaknai Kembali
Hindu Darma. Jakarta: Pusat Studi Weda dan Darma
Lickona, T.
(2012),Charakcter Matter. Jakarta: PT
Bumi Aksara
Majir, A. 2017. Reaktualisasi
Nilai Empat Pilar Pendidikan Karater Untuk Membentuk Karakter Mulia Menghadapi
Persaingan Golbal. Makalah seminar: STKIP St. Paulus-Ruteng Flores
Partanto, Pius. A
dan M. Dahlan Al-barry, 1994, Kamus Ilmiah Popular, Arko
Rudyansyah,
Toni, 2008, Radikalisme, Globalisasi dan krisis kemanusiaan, ”http//www.puarta-kabarindonesia.blogspot.com/.
Sarwono,
S.W.(1999). Psikologi Sosial: Individu
dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka
Sucipto, Hery.
2002. “Pro & Kontra FPI :
Kelompok Pengambilalih Penegakan Hukum” HYPERLINK
"http://www.fpi.or.id/artikel.asp?oy=pro-16"
Suparno, (1997),
Kewargaan Multikultural. Jakarta: LP3ES
Komentar
Posting Komentar